Menyorot Shalat Arbain di Masjid Nabawi
MENYOROT SHALAT ARBA’IN DI MASJID NABAWI
Oleh
Ustadz Anas Burhanuddin, MA
Muqaddimah
Pada umumnya, para jamaah haji dijadwalkan untuk mengunjungi kota Madinah sebelum atau sesudah penyelenggaraan ibadah haji. Mereka sangat bersemangat berkunjung ke Madinah meski ziarah ini tidak ada hubungannya dengan ibadah haji. Hal ini tidak aneh karena Madinah memiliki kedudukan yang tinggi dalam sejarah penyebaran Islam. Ke tempat inilah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhijrah untuk kemudian menghabiskan umur beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyemai dakwah Islam di sana. Oleh karena itu, meski ibadah haji tetap sah tanpa ziarah ke Madinah, namun para jamaah haji selalu merasa ada yang kurang jika tidak berkunjung ke sana. Di antara ibadah yang biasa dilakukakan para jamaah haji selama di kota ini adalah shalat arba’in di Masjid Nabawi.
Tulisan ini mencoba menelisik beberapa segi dari ibadah ini agar para pembaca bisa mengetahui kedudukannya dalam Islam.
Keutamaan Shalat di Masjid Nabawi
Shalat di Masjid Nabawi tidaklah seperti shalat di masjid lain. Allâh Azza wa Jalla telah menyematkan padanya keutamaan yang besar, sebagaimana Allâh Azza wa Jalla telah melebihkan sebagian amalan di atas sebagian yang lain. Hadits berikut dengan tegas menjelaskan hal ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: صَلاَةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ، إِلاَّ المَسْجِدَ الحَرَامَ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Satu kali shalat di masjidku ini lebih baik dari seribu shalat di masjid lain, kecuali Masjidil Haram.” [HR. al-Bukhari no.1190 dan Muslim no. 505]
Sungguh keutamaan yang besar! Ini berarti satu kali shalat fardhu di sana lebih baik dari shalat fardhu yang kita lakukan dalam dua ratus hari di tempat yang lain. Maka sungguh merugi orang yang sudah sampai di Madinah tapi tidak sungguh-sungguh memanfaatkan kesempatan besar ini. Hadits yang muttafaq ‘alaih sehingga tidak diragukan lagi keshahihannya ini sudah cukup sebagai penggelora semangat kita dan kita tidak butuh lagi hadits-hadits yang lemah.
Apa itu Shalat Arba’in?
Arba’in atau arba’un dalam bahasa Arab berarti empat puluh. Yang dimaksud dengan shalat arba’in adalah melakukan shalat empat puluh waktu di Masjid Nabawi secara berturut-turut dan tidak ketinggalan takbiratul ihram bersama imam. Para jamaah haji meyakini bahwa amalan ini akan membuat mereka terbebas dari neraka dan kemunafikan. Karenanya jamaah haji Indonesia dan banyak negara lain diprogramkan untuk menginap di Madinah selama minimal 8 hari agar bisa menjalankan shalat arba’in.
Dasar keyakinan ini adalah sebuah hadits dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ صَلَّى فِي مَسْجِدِي أَرْبَعِينَ صَلاةً، لاَ يَفُوتُهُ صَلاةٌ، كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَنَجَاةٌ مِنَ الْعَذَابِ، وَبَرِئَ مِنَ النِّفَاقِ
Barang siapa shalat di masjidku empatpuluh shalat tanpa ketinggalan sekalipun, dicatatkan baginya kebebasan dari neraka, keselamatan dari siksaan dan ia bebas dari kemunafikan. [HR. Ahmad no. 12.583 dan ath-Thabrani dalam al-Ausath no. 5.444]
Hadits ini dihukumi shahih oleh beberapa Ulama seperti al-Mundziri rahimahullah , al-Haitsami rahimahullah dan Hammad al-Anshari rahimahullah[1] karena Ibnu Hibban rahimahullah memasukkan Nubaith bin Umar, salah seorang perawi hadits tersebut dalam kitab ats-Tsiqat. Padahal Nubaith ini tidak dikenal (majhul),dan para Ulama hadits menjelaskan bahwa Ibnu Hibban rahimahullah memakai standar longgar dalam kitab ini, yaitu memasukkan orang-orang yang majhul ke dalam kelompok rawi yang terpercaya (tsiqah).
Perlu direnungkan, bagaimana amalan dengan pahala sebesar ini tidak populer di kalangan shahabat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan hanya diriwayatkan oleh satu sahabat lalu oleh satu tabi’i yang tidak dikenali dan tidak memiliki riwayat sama sekali –tidak dalam hadits shahih maupun dha’if- kecuali hadits ini ?[2]
Maka sesungguhnya penshahihan ini tidak bisa diterima, dan pendapat yang melemahkan hadits ini adalah pendapat yang –wallahu a’lam- lebih kuat, dan ini adalah pendapat Syaikh al-Albâni, Bin Baz, Abdul Muhsin al-‘Abbad, dan Lajnah Daimah (Komisi Tetap Fatwa di Arab Saudi).[3] Pembahasan lebih dalam mengenai takhrij hadits dan perbedaan para ulama seputar keshahihan hadits ini bisa ditelaah di tulisan lain dalam mabhats ini.
Beberapa Catatan Tentang Praktek Shalat Arba’in
Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan seputar amalan ini, di antaranya:
1. Kadang-kadang terjadi pelanggaran sunnah yang sudah jelas untuk mengejar pahala amalan yang masih diperselisihkan ini. Saat musim haji, di Masjid Nabawi kita bisa dengan mudah melihat banyak orang yang berlarian saat mendengar iqamat dikumandangkan. Hal ini mereka lakukan untuk mengejar takbiratul ihram bersama imam. Padahal Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk mendatangi masjid dengan tenang dan melarang kita untuk tergesa-gesa saat hendak shalat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِذَا سَمِعْتُمُ الإِقَامَةَ، فَامْشُوا إِلَى الصَّلاَةِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَالوَقَارِ، وَلاَ تُسْرِعُوا، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
Jika kalian mendengar iqamat, berjalanlah untuk shalat dengan tenang dan wibawa, jangan terburu-buru, shalatlah bersama imam sedapatnya, dan sempurnakan sendiri bagian yang tertinggal. [HR. al-Bukhari no.636 dan Muslim no. 154, dan ini adalah lafazh al-Bukhari]
2. Sebagian orang tidak lagi bersemangat untuk shalat di Masjid Nabawi setelah menyelesaikan arba’in. Hal ini bisa mudah dilihat di penginapan para jamaah haji menjelangan kepulangan dari Madinah. Panggilan adzan yang terdengar keras dari hotel-hotel yang umumnya dekat dari Masjid Nabawi tidak lagi dijawab sebagaimana hari-hari sebelumnya saat program arba’in belum selesai. Jika kita melihat kondisi para jamaah haji setelah sampai di negeri masing-masing, kita bisa melihat kondisi yang lebih memprihatinkan lagi. Adakah ini karena keyakinan mereka bahwa mereka telah bebas dari neraka dan kemunafikan setelah menyelesaikan program arba’in ? Jika demikian, maka amalan yang masih diperselisihkan ini telah memberikan dampak buruk atau dipahami secara salah.
Syaikh ‘Athiyyah Muhammad Salim –salah satu Ulama yang ikut menshahihkan amalan ini- berkata, “Perlu diketahui bahwa tujuan dari arba’in adalah membiasakan dan memompa semangat shalat jamaah. Adapun jika setelah pulang orang meninggalkan shalat jamaah dan meremehkan shalat, maka ia sungguh telah kembali buruk setelah sempat baik.” [4]
3. Sebagian orang memaksakan diri untuk menginap di Madinah untuk waktu lama, sedangkan mereka tidak memiliki bekal yang memadai. Padahal mereka perlu menyewa penginapan dan menyediakan kebutuhan hidup yang lain. Sebagian orang yang kehabisan bekal akhirnya mengemis di Madinah demi mengejar keutamaan arba’in.[5]
Adapun jamaah haji Indonesia, insya Allâh tidak mengalami hal ini karena biaya hidup di Madinah sudah masuk dalam paket biaya pelaksanaan ibadah haji yang harus dibayarkan sebelum berangkat.
Di samping itu, jika ada bekal dan waktu berlebih, lebih baik jika digunakan untuk memperbanyak ibadah di Makkah dan Masjidil Haram yang jelas memiliki keutamaan lebih besar.
4. Barangkali ada jamaah haji yang memaksakan diri untuk tetap shalat di Masjid Nabawi saat sedang sakit keras demi mengejar keutamaan arba’in. Semangat ibadah tentu sangat dianjurkan, namun jika sampai membahayakan kesehatan, maka hal ini menjadi tidak boleh. Dalam beberapa kasus, saya melihat bahwa memforsir tenaga secara berlebihan selama perjalanan haji adalah salah satu faktor penyebab banyaknya kematian para jamaah haji. Sayangnya hal ini kadang terjadi dalam ibadah yang tidak kuat dalilnya, seperti mengulang-ulang umrah saat di Makkah. Sementara sebagian jamaah lain justru sakit saat ibadah utama (haji) tiba waktunya, karena sebelumnya sudah terforsir untuk ibadah-ibadah seperti ini.
5. Bagi para jamaah haji wanita, shalat di rumah atau penginapan lebih baik bagi mereka daripada shalat di Masjid Nabawi. Mari kita perhatikan hadits berikut ini :
عَنْ أُمِّ حُمَيْدٍ امْرَأَةِ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ، أَنَّهَا جَاءَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي أُحِبُّ الصَّلَاةَ مَعَكَ، قَالَ: «قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّينَ الصَّلَاةَ مَعِي، وَصَلاتُكِ فِي بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي حُجْرَتِكِ، وَصَلاتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاتِكِ فِي دَارِكِ، وَصَلاتُكِ فِي دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ، وَصَلاتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاتِكِ فِي مَسْجِدِي» ، قَالَ: فَأَمَرَتْ فَبُنِيَ لَهَا مَسْجِدٌ فِي أَقْصَى شَيْءٍ مِنْ بَيْتِهَا وَأَظْلَمِهِ، فَكَانَتْ تُصَلِّي فِيهِ حَتَّى لَقِيَتِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ
Dari Ummu Humaid –istri Abu Humaid as-Sa’idi-bahwa ia telah datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasûlullâh, sungguh saya senang shalat bersamamu.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Aku sudah tahu itu, dan shalatmu di bagian dalam rumahmu lebih baik bagimu daripada shalat di kamar depan. Shalatmu di kamar depan lebih baik bagimu daripada shalat di kediaman keluarga besarmu. Shalatmu di kediaman keluarga besarmu lebih baik bagimu daripada shalat di masjid kaummu, dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik dari shalat di masjidku.” Maka Ummu Humaid memerintahkan agar dibangunkan masjid di bagian rumahnya yang paling dalam dan paling gelap, dan ia shalat di situ sampai bertemu Allâh. [HR. Ahmad no. 27.090, dihukumi hasan oleh Ibnu Hajar]
Kita sudah mengetahui besarnya keutamaan shalat di Masjid Nabawi. Namun bagi para wanita, shalat di rumah mereka tetap lebih baik bagi mereka dibanding shalat di Masjid Nabawi, bahkan di Masjidil Haram. Semakin tersembunyi tempat shalat, itu semakin baik bagi mereka. Para jamaah haji wanita perlu meneladani Ummu Humaid Radhiyallahu anha yang begitu menaati sunnah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan selalu shalat di rumah. Tidak seperti sebagian jamaah haji yang kadang shalat di jalan-jalan kota Makkah karena masjid-masjid penuh. Mereka bersemangat tinggi tapi tidak didasari ilmu agama yang memadai.
Ada Arba’in Lain
Selain arba’in di atas ada arba’in dengan bentuk lain dengan dalil yang lebih shahih, yaitu hadits berikut:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ الأُولَى كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ: بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ.
Dari Anas bin Malik, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang shalat karena Allâh Azza wa Jalla empat puluh hari secara berjamaah tanpa ketinggalan takbir yang pertama, dicatatkan baginya dua kebebasan; kebebasan dari neraka dan kebebasan dari kemunafikan. [HR ar-Tirmidzi no. 241, dihukumi hasan oleh al-Albani, dan al-‘Iraqi mengatakan: para rawinya tsiqah][6]
Di banding arba’in yang di atas, arba’in ini memiliki beberapa perbedaan, yaitu:
- Jumlah bilangan shalatnya dua ratus shalat dalam empat puluh hari. Bandingkan dengan empat puluh shalat dalam delapan hari. Karenanya, sebagian orang yang pernah mencoba mengamalkannya mengalami kesulitan yang cukup besar, kira-kira sebanding dengan besarnya pahala yang dijanjikan.
- Arba’in ini pelaksanaannya tidak terbatas pada Masjid Nabawi, tapi bisa dilakukan di masjid manapun di atas muka bumi ini.
Jangan Lewatkan Pahala Jihad di Masjid Nabawi
Di akhir pembahasan ini, saya ingin mengajak para peziarah kota Madinah untuk tidak melewatkan sebuah peluang pahala besar selama di Madinah, yakni sebuah amalan yang tidak hanya akan bermanfaat selama musim haji saja, tapi diharapkan bisa menerangi sisa kehidupan mereka yang akan datang. Hal ini termaktub dalam hadits berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَنْ جَاءَ مَسْجِدِي هَذَا، لَمْ يَأْتِهِ إِلاَّ لِخَيْرٍ يَتَعَلَّمُهُ أَوْ يُعَلِّمُهُ، فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَمَنْ جَاءَ لِغَيْرِ ذَلِكَ، فَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الرَّجُلِ يَنْظُرُ إِلَى مَتَاعِ غَيْرِهِ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , beliau berkata, Rasûlullâh bersabda, “Barang siapa mendatangi masjidku ini, tidak datang kecuali untuk kebaikan yang ingin dia pelajari atau ajarkan, maka kedudukannya seperti mujahid di jalan Allah. Dan barang siapa datang untuk selain itu, maka ia laksana orang yang hanya memandang barang orang lain.” [HR. Ibnu Majah no. 227, dihukumi shahih oleh al-Albani]
Memandang barang orang lain maksudnya adalah ia seperti orang yang masuk ke pasar, tapi tidak menjual atau membeli, dan hanya memandang barang orang lain sehingga tidak mendapatkan apa-apa. Hadits ini juga menunjukkan bahwa Masjid Nabawi adalah sûq al ‘ilmi (pasar ilmu), dan selayaknya bagi orang yang masuk ke dalamnya untuk berdagang ilmu, baik dengan menuntut ilmu atau mengajarkannya.[7]
Jika anda paham bahasa Arab, anda bisa belajar langsung kepada para Ulama di Masjid Nabawi. Jika tidak, anda bisa membawa kitab untuk dibaca, berdiskusi atau membaca al-Quran dan terjemahnya. Atau menghadiri pengajian berbahasa Indonesia yang mulai tahun ini insyaAllâh Azza wa Jalla akan dibuka di kursi-kursi resmi dalam Masjid Nabawi dan diampu para mahasiswa senior di Universitas Islam Madinah. Yang penting setiap langkah anda dari penginapan menuju Masjid Nabawi tidak lepas dari niat mempelajari kebaikan atau mengajarkannya, agar pahala jihad tidak luput dari anda.
Musim haji selain menjadi musim ibadah juga merupakan titik temu para Ulama dan penuntut ilmu. Para jamaah haji yang ingin melipatgandakan keuntungan mereka menimba ilmu dari para Ulama haramain atau para Ulama yang datang dari berbagai penjuru dunia, kemudian mendakwahkannya di negeri masing-masing. Mereka menjadi duta dakwah sebagaimana dahulu para sahabat meninggalkan tanah suci yang mereka cintai untuk menebar hidayah. Atau jika tidak mendakwahkannya secara luas, paling tidak mereka mengenal Islam yang murni langsung dari sumbernya dan bermanfaat untuk mereka dan keluarga mereka, dan ini sungguh keuntungan yang tidak sedikit.
Khatimah
Dari paparan di atas, jelaslah bagi kita keutamaan shalat di Masjid Nabawi. Keutamaan ini sangat cukup memotivasi kita untuk melakukan shalat jamaah sebanyak mungkin di Masjid Nabawi. Lemahnya hadis arba’in, ditambah adanya praktek-praktek yang salah sebagaimana telah dijelaskan di atas membuat kita tidak memerlukannya. Semoga Allâh Azza wa Jalla membimbing kita dan kaum muslimin untuk berilmu sebelum beramal, dan membimbing kita semua kepada apa yang Dia cinta dan ridhai. Amin.
Referensi:
- Adhwâ’ul Bayân fi Idhâhil Qur’ân bil Qur’ân, Syaikh Muhammad Amin asy-Syinqithi, Darul Fikr.
- al-Bahtsul Amîn fi Hadîtsil Arba’in, diterbitkan dalam Majalah al-Jami’ah al-Islamiyyah edisi 41.
- at-Targhîb wat Tarhîb, al-Mundziri.
- Fadhlul Madinah, Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad.
- Fatawa al-Lajnah ad-Daimah.
- Majma’ az-Zawâ`id wa Manba’ al-Fawa`id, al-Haitsami, Maktabah al-Qudsi.
- Majmû’ Fatâwâ Syaikh Bin Baz, Muhammad asy-Syuwai’ir.
- Mir’atul Mafâtîh Syarh Misykâtil Mashâbih, Abul Hasan al-Mubarakfuri, al-Jami’ah as-Salafiyyah.
- Shahîhut Targhîb wat Tarhib, al-Albani, Maktabah al-Ma’arif.
- Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wal Maudhu’ah, al-Albani, Maktabah al-Ma’arif.
- Takhrîj Ahadits Ihya Ulumiddin, al-Hafizh al-‘Iraqi, Darul ‘Ashimah.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 105/Tahun XVI/1433/201M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Majma’ az-Zawâid 4/8, at-Targhib wat Tarhib 2/139.
[2] al-Bahtsul Amin fi Hadits al-Arba’in, diterbitkan dalam Majalah al-Jami’ah al-Islamiyyah edisi 41.
[3] Silsilatul Ahâdîts adh-Dha’îfah wal Maudhû’ah 1/540 no. 364, Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Baz 26/285, Fadhlul Madinah, hlm. 19, Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 4/440.
[4] Adhwâ’ul Bayân 8/336.
[5] al-Bahtsul Amin fi Hadits al-Arba’in, diterbitkan dalam Majalah al-Jami’ah al-Islamiyyah edisi 41.
[6] Shahîhut Targhîb wat Tarhîb 1/98 no. 409, Takhrîj Ahâdîts Ihya Ulûmiddîn1/334.
[7] Mir’atul Mafâtîh Syarh Misykâtil Mashâbih 2/456.
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/23038-menyorot-shalat-arbain-di-masjid-nabawi.html